Beritaindonesia.id– Ribuan demonstran terus turun ke jalan sebagai aksi solidaritas terkait kematian George Floyd. Hanya saja, para ahli kesehatan khawatir bahwa gelombang kedua atau klaster baru infeksi Covid-19 dapat dipicu dari aksi demonstrasi yang terkadang berakhir ricuh tersebut.
Apalagi Amerika Serikat menjadi episentrum tertinggi dari penularan virus Corona jenis baru.
Direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular di Universitas Minnesota, Michael Osterholm, memberikan ilustrasi penularan bisa terjadi. Misalnya saat petugas polisi menembakkan gas air mata dan menggunakan semprotan merica pada pengunjuk rasa. Asap, gas air mata dan semprotan merica menyebabkan batuk. Dan batuk aerosolisasi virus bisa meningkatkan risiko penyebaran.
“Jika orang mengatakan mereka sehat, kita tahu bahwa setidaknya sepertiga dari pasien Covid-19 tidak menunjukkan gejala menurut CDC,” tambah direktur medis dari National Foundation for Infectious Diseases Dr. William Schaffner seperti dilansir dari ABC News, Rabu (3/6).
Risiko ini bahkan lebih jelas ketika memperhitungkan lebih dari 5.600 demonstran yang telah ditangkap, menurut The Associated Press. Penjara tidak hanya memadati ruang dalam ruangan, tetapi para pengunjuk rasa duduk di kendaraan dalam jarak dekat untuk waktu yang lama, yang meningkatkan risiko penularan virus selanjutnya.
Pada Senin (1/6), wali kota dan gubernur di tiap negara bagian mendesak demonstran untuk tinggal di rumah. Dan jika mereka pergi keluar untuk memakai masker wajah dan menjaga jarak sosial.
“Kami tidak ingin orang-orang tertular penyakit ini atau menyebarkan penyakit ini,” kata Wali Kota New York Bill de Blasio pada konferensi pers Senin (1/6).
Bahkan, Wali Kota Atlanta Keisha Lance Bottoms meminta kepada siapapun pengunjuk rasa untuk menjalani tes Covid-19. Sebab penelitian membuktikan penularan pada masyarakat kulit hitam dan cokelat lebih rentan. “Jika Anda keluar ikut protes tadi malam, Anda mungkin perlu menjalani tes Covid-19 pada minggu ini,” tegasnya. (jpc)