Catatan Perjalanan Nur Alim Djalil
Apa yang saya bayangkan ternyata meleset. Saya membayangkan masjid di Istanbul yang indah-indah itu ramai setiap salat wajib.
Tidak ternyata. Beberapa masjid yang saya masuki untuk salat, jemaahnya sangat kurang. Dapat dihitung sebelah tangan. Malah ada masjid yang azan saja. Kecuali salat Jumat, lumayan penuh.
Setelah mengunjungi beberapa masjid dan jemaah kurang, saya bertanya-tanya ada apa sebenarnya di Turki. Gelisah melihat pemandangan yang saya anggap cuma penilaian selintas — atau jangan-jangan karena Turki memberlakukan pembatasan sosial –, saya coba membuka beberapa referensi tentang Turki saat ini.
Saya gugup ketika mendapati data, bahwa saat ini semakin banyak warga Turki yang berpindah ke ateisme dan deisme. Ateisme tidak meyakini adanya Tuhan. Deisme percaya ada Tuhan namun Tuhan tidak mencampuri urusan manusia.
Secara keseluruhan Islam di Turki dianut 99 persen penduduk, berdasarkan data dari Direktorat Urusan Agama Turki, 2019. Namun yang menjalankannya secara benar, menurut lembaga survei Konda, 51 persen.
Lantas yang hampir setengahnya bagaimana?
Saya teringat ketika di depan Masjid Biru, seorang yang memandu rombongan wisatawan asal Malaysia, menyampaikan untuk salat di Hagia Sophia.
Seorang bertanya kepada si pemandu berkebangsaan Turki tersebut yang sudah lancar berbahasa Melayu, “Kamu ikut salat kan?” Si pemandu itu menggeleng kemudian menjawab, “Tidak. Salat saya hanya hari Jumat.”