Beritaindonesia.id, JAKARTA– Rencana pemekaran provinsi Papua kembali menjadi sorotan sejumlah kalangan. Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif Papua Circle Institute Hironimus Hilapok ada tiga kepentingan yang melandasi wacana itu.
“Pemekaran selama dianggap sebagai salah satu solusi dari persoalan kesejahteraan di Papua. Tapi ingat ini demi kepentingan siapa,” kata Hiron sapaan Hironimus Hilapok saat diskusi dialektika demokrasi bertajuk ‘Pemekaran Papua: Sebuah Keniscayaan atau Petaka?’ di Media Center Kompleks Parlemen, Senayan.
Hirin menjelasakan, ada tiga kemungkinan kepentingan terkait pemekaran daerah. Pertama, masyarakat memang menginginkan sebuah pemekaran sehingga masyarakat melakukan gerakannya sendiri dengan didorong oleh beberapa elite.
Kedua, pemekaran itu biasa datang dari kepentingan elite sendiri. Tanpa melihat apakah itu menjadi kebutuhan masyarakat atau tidak. Ketiga, murni kepentingan bisnis.
“Karena itu adalah tugas DPR dan pemerintah untuk menilainya. Apakah pemekaran ini layak ada tidak,” ujarnya.
Lebih lanjut, mantan Pengurus Pusat PMKRI ini menjelaskan, proses perkembangan Papua sejak berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1969. Awalnya, kata dia, Papua hanya satu provinsi dan 9 kabupaten.
Kemudian, melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1969. Selanjutnya, pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999, provinsi Irian Jaya (Papua, red) dimekarkan menjadi tiga provinsi, tetapi sampai saat ini hanya ada dua saja yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.
Namun, pemekaran tersebut mengalami penolakan sehingga muncul UU Otonomi khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 dan Papua Barat masuk dalam bagian dari UU Otsus Papua.
Lebih lanjut Hiron mengakui adanya pro dan kontra di masyarakat terkait pemekaran. Bagi yang pro pemekaran, didasarkan pada pertimbangan bahwa pemekaran itu penting sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, ada juga pandangan bahwa pemekaran itu hanya untuk memecah-belah orang Papua.
“Jadi pro dan kontra itu selalu terjadi baik itu di kalangan elite maupun kalangan masyarakat biasa,” imbuhnya.
Namun, kata dia, yang lebih penting adalah bagaimana orang asli Papua itu menjadi tuan di negerinya sendiri, di Tanah Papua. Kemudian orang asli Papua menjadi subjek dalam pembangunan itu.
“Kalau ditanya apakah setuju atau tidak setuju tentang pemekaran, saya pikir setuju, tetapi melalui sebuah proses dalam kerangka otonomi khusus sehingga pemekaran betul-betul dirasakan manfaatnya oleh orang asli Papua,” tegas Hiron.
Sementara itu, Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOD Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Andi Bataralifu mengatakan, dalam konteks pemekaran daerah terdapat tiga kondisi yang perlu mendapat perhatian sampai terjadinya daerah baru.
Pertama, pendekatan melalui mekanisme usulan aspirasi masyarakat. Kedua, ada pendekatan teknokratis, untuk melihat regulasi mana, persyaratan-persyaratan mana yang dipenuhi sehingga daerah itu layak untuk menjadi sebuah daerah otonom. Ketiga, pertimbangan politis itu sendiri.
“Jadi pemerintah akan lebih dulu mempertimbangkan semuanya dengan seksama,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron mengatakan, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) alias pemekaran harus melalui pengkajian yang matang, bukan karena keputusan politik.
“Tujuan utama DOB itu adalah untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat dan tentu saja menyejahterakan rakyatnya,” kata Herman Khaeron.
Herman mengingatkan, jangan sampai daerah yang baru dimekarkan rakyatnya tambah miskin, pendapatan asli daerahnya (PAD) menurun dan menghabiskan anggaran untuk infrastruktur.
Oleh karena itu, politikus Demokrat yang akrab disapa Kang Hero itu meminta agar daerah yang ingin membentuk DOB itu mengkaji secara matang. “Jangan asal minta pemekaran saja, tapi ujungnya malah masyarakatnya yang sengsara,” pungkasnya. (jpc/fajar)