Oleh: Lilis Shofiyanti (Mahasiswa Pasca sarjana UI & Alumni UIN Jakarta)
Kehadiran RUU Ciptaker, seperti oase di tengah ekonomi Indonesia yang gersang. Sebagaimana kita ketahui bahwa RUU Sapu Jagat ini merupakan himpunan dari undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda. Meskipun sampai saat ini ditengarai banyak pasal yang kontroversial, namun menurut saya RUU Ciptaker tetap harus diperjuangkan karena di dalamnya banyak juga pasal-pasal yang memberikan kemanfaatan bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah penyederhanaan proses pengajuan sertifikasi halal.
Secara garis besar, RUU Ciptaker ini memberikan sejumlah perubahan signifikan terhadap Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Di antaranya terkait kemudahan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, pelibatan ormas Islam berbadan hukum dalam proses sertifikasi halal, pemangkasan jangka waktu pengajuan dan proses sertifikasi halal, serta pengubahan sejumlah sanksi terkait regulasi tersebut.
Dalam konteks ini saya tidak akan masuk secara mendalam untuk memperdebatkan berbagai pasal yang dinilai kontroversial dalam RUU Cipta Kerja. Di sini saya hanya ingin menggaris bawahi terkait satu hal yang paling mendasar, yakni perubahan istilah ‘sertifikasi halal’ terlebih dahulu. Pada Undang Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal dalam Pasal 1 Ayat 10, “sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI”. Sedangkan definisi ‘sertifikasi halal’ dalam RUU Cipta Kerja ketentuan Pasal I Ayat 10, “sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”. Perubahan definisi tersebut, sudah pasti merubah interpretasi dan menggeser pemaknaan serta memiliki implikasi yang signifikan dalam proses perizinan sertifikasi halal, dalam hal ini berarti tidak harus melalui fatwa MUI namun pengakuan kehalalan sudah bisa didapatkan dari BPJPH.
Sebagaimana pengalaman saya pada saat mengajukan permohonan izin sertifikasi halal terhadap produk makanan kemasan yang saya buat bersama para ibu-ibu industri rumahan di Demak pada tahun 2016 lalu, saya cukup mengalami kesulitan dalam mengajukan izin sertifikasi halal, karena banyak pintu yang harus dilalui. Selain prosedur administrasi dan pemberkasan yang harus dipenuhi cukup banyak, rentang waktunya pun sangat lama, ditambah lagi kondisi petugas yang ada di daerah tak begitu tanggap seperti halnya di Jakarta. Hal ini membuat saya sangat frustasi dan semakin malas dalam mengajukan sertifikasi halal.
Saya ingin sedikit berbagi pengalaman saya dalam mengajukan sertifikasi halal. Adapun proses yang saya tempuh saat itu antara lain sebagai berikut:
1. Mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang diadakan oleh LPPOM MUI.
2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) terhadap usaha yang dikelola seperti penetapan kebijakan halal, penetapan tim manajemen halal, pembuatan manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji ulang manajemen.
3. Menyiapkan dokumen sertifikasi halal.
4. Melakukan pendaftaran sertifikasi halal.
5. Melakukan monitoring pre-audit dan pembayaran akad sertifikasi.
6. Pelaksanaan audit.
7. Pelaksanaan monitoring pasca-audit.
8. Memperoleh sertifikat halal.
Tahapan tersebut menurut saya sangat lama dan berbelit. Menurut saya bahwa RUU Ciptaker ini berusaha untuk menyederhanakan proses tersebut dengan cara menambahkan pasal baru yang diselipkan di antara Pasal 4 dan Pasal 5 UU JPH. Pada pasa 4A ayat 1, diatur bahwa kewajiban bersertifikat halal untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) didasarkan pada “pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil”. Kemudian pada Pasal 4A ayat 2, diatur bahwa “Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)”. Perubahan signifikan selanjutkan terdapat pada perubahan Pasal 7. Pada UU JPH, dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan dalam RUU Ciptaker barunya adalah “Ormas Islam yang berbadan hukum” juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama dengan BPJPH.
Hal yang menurut saya RUU Cipta Kerja membawa harapan baru pada para pelaku industri atau pengusaha mikro dan kecil seperti saya ini adalah bahwa menurut RUU Ciptaker Pasal 29, permohonan sertifikasi halal diajukan langsung oleh pelaku usaha ke BPJPH dengan melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan serta jangka waktu verifikasi yang dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja. Diperkuat dengan perubahan definisi pada istilah ‘sertifikasi halal’ pada Pasal 1 Ayat 10, ketentuan ini jelas sangat mempermudah proses pengajuan sertifikasi halal, menjadi lebih efektif dan efisien, tanpa menunggu jangka waktu yang lama.
Dalam hal ini, saya juga ingin menanggapi pernyataan dari Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ihsan Abdullah yang menganggap bahwa Omnibus Law Ciptaker berpotensi menghapuskan peran ulama dalam proses sertifikasi halal yaitu terdapat pada Pasal 1 angka 10 yang dinilai mengambil alih fatwa produk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI.
Apabila pasal tersebut diduga mereduksi peran ulama, menurut saya, dengan melibatkan ormas dalam mengeluarkan fatwa terkait kehalalan suatu produk, hal ini tidak menjadi masalah dan tidak menafikan peran ulama, karena MUI pun pada dasarnya merupakan representasi dari ormas-ormas Islam tersebut.
Selain itu, menurut saya bahwa ketika penetapan fatwa atas produk halal hanya dilakukan oleh MUI, tentunya hal ini justru menimbulkan kecurigaan yang teramat besar bagi saya terutama dalam hal profit atau keuntungan bagi MUI. Namun, terlepas dari kecurigaan tersebut, menurut saya siapa yang menerbitkan fatwa halal, hanya soal teknis saja. Menteri Agama juga harus mengetahui akan aktor atau siapa yang sedang duduk di Komisi Fatwa MUI adalah ormas-ormas Islam, antara lain ada dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dan lain sebagainya.
Menurut saya, semuanya bisa berjalan bersama mengeluarkan fatwa halal dan RUU Ciptaker ini pun masih berupa rancangan yang masih dalam proses penggodokan di DPR. Terlepas dari persengketaan itu semua, saya hanya ingin menggaris bawahi bahwa kehadiran RUU Ciptaker ini membuka peluang dan kesempatan bagi para pelaku usaha mikro dan kecil dalam proses pengajuan sertifikasi halal. Sebagaimana kita tahu bahwa semakin banyak produk makanan atau industri rumahan yang tersertifikasi halal maka akan berdampak pada kepercayaan konsumen untuk membeli, pendapatan UMKM pun meningkat dan sejahtera.