Beritaindonesia.id, JAKARTA – Tren penindakan khususnya Operasi Tangkap Tangan (OTT) menurun sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipimpin oleh Komjen Pol Firli Bahuri dkk sejak 20 Desember 2019. Memang, awal Januari KPK melakukan dua OTT dalam waktu berdekatan. Namun, giat tersebut ternyata tak sepenuhnya merupakan hasil kinerja Pimpinan Jilid V.
KPK era Firli Bahuri tercatat melakukan tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo nonaktif Saiful Ilah terkait perkara dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada 7 Januari 2020. Sehari berselang, giliran mantan Komisioner Wahyu Setiawan yang dicokok KPK pada 8 Januari 2020 terkait kasus dugaan suap penetapan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih.
Penyelidikan, termasuk penyadapan dua OTT itu disebut dilakukan semasa Agus Rahardjo dkk. atau Pimpinan KPK Jilid IV menjabat. Hingga kini, belum ada satu pun OTT yang murni dilakukan oleh Pimpinan KPK baru. Namun hingga Maret 2020, KPK mengaku telah melakukan 116 penyadapan sejak pimpinan baru dilantik. Tapi, tak satu pun yang berujung OTT.
Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menerangkan, banyaknya OTT tak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi. Menurutnya, pemberantasan korupsi bakal berhasil dijalankan dengan memadukan kinerja penindakan dan pencegahan secara stimultan.
“Kedua-duanya harus diperkuat. Upaya pencegahan terus digalakkan. Kenapa? Karena demi melaksanakan amanat UU yang lebih mengedepankan pencegahan,” ujar Firli ketika dikonfirmasi, Kamis (12/3).
Firli menyatakan, pencegahan menjadi fokus dalam UU KPK baru lantaran dipandang lebih konstruktif, menelan biaya yang lebih murah, serta berdampak luas bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, berdasarkan pengalamannya menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK selama dua tahun, OTT saja tak cukup.
“Catatan penting adalah OTT perlu dilakukan tapi bukan tujuan. Pemberantasan korupsi dilakukan secara sistemik, karena korupsi yang sistemik dampaknya juga sistemik. Karena itu, KPK perlu melibatkan seluruh elemen untuk memperbaiki sistem supaya tidak terjadi korupsi. Perbaikan sistem itu kita lakukan dalam upaya pencegahan,” ungkapnya.
Kendati demikian, ia menegaskan penindakan tak akan melemah meski pihaknya kini berfokus pada pencegahan korupsi. Ia menyampaikan, penindakan dan pencegahan merupakan dua tugas KPK yang saling berkolaborasi.
“Upaya pemberantasan korupsi dengan cara untuk penindakan juga terus dilakukan dengan penyelidikan baik secara terbuka maupun tertutup. Kami yakin pada saatnya akan membuahkan hasil, rekan-rekan penyelidik terus bekerja,” tutupnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meragukan komitmen pemberantasan korupsi yang dimiliki para Pimpinan KPK baru. Menurutnya, klaim 116 penyadapan yang telah dilakukan KPK tak sejalan dengan kenyataan bahwa lembaga antirasuah itu belum kunjung melakukan OTT.
“Apa yang dilaporkan yang telah dikerjakan berbeda jauh dari kenyataan apa yang terjadi,” ujar Fickar ketika dihubungi Fajar Indonesia Network (FIN).
Fickar menuturkan, banyak hal yang memperkuat keraguannya itu. Seperti, berhentinya giat OTT, bertambahnya daftar buronan KPK, perkara melibatkan Pimpinan MPR mau pun DPR yang tak kunjung dikembangkan, juga terhentinya penanganan kasus dugaan korupsi di sejumlah kementerian.
Performa penindakan KPK selama ini, menurutnya, telah menurunkan harapan publik terhadap lembaga antirasuah. Ia berpandangan, penurunan kualitas kinerja ini diakibatkan oleh berlakunya UU KPK versi revisi.
“Pemberantasan korupsi melambat, bahkan mungkin akan berhenti. Inilah akibatnya perubahan UU KPK, jelas-jelas melemahkan bukan menguatkan,” ucap Fickar.
Senada, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, paparan 116 penyadapan yang disampaikan KPK dilakukan hanya demi menenangkan kekhawatiran publik terhadap kinerja penindakan lembaga antirasuah. Menurut dia, pernyataan itu hanya sebatas statemen tanpa diiringi tindakan yang konkret.
Bahkan, Boyamin menduga selama ini KPK hanya melakukan penyadapan terhadap orang-orang yang tengah berpacaran dan pihak-pihak yang mengkritisi lembaga antirasuah.
“Omong doang alias not action talk only. Mungkin nyadap orang pacaran saja, juga nyadap orang-orang yang kritis terhadap KPK,” kata Boyamin kepada FIN. (fin)