Beritaindonesia.id, JAKARTA – Desakan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mundur terus mengemuka. Ini akibat ucapannya yang terus menuai kontroversi. Bahkan, secara terang-terangan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII yang berlangsung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendesak Presiden Joko Widodo untuk membubarkan BPIP, karena keberadaannya tidak diperlukan lagi.
”Kami mendesak presiden untuk mengembalikan penafsiran Pancasila kepada MPR, sebagaimana diamanatkan dalam sila ke-4 dalam Pancasila,” kata Wakil Ketua Umum MUI Pusat, KH Muhyiddin Junaidi, Minggu (1/3).
Oleh karena itu, keberadaan BPIP dalam penafsiran Pancasila tidak diperlukan lagi dan mendesak Presiden Republik Indonesia untuk membubarkan BPIP tersebut. ”Seluruh peserta KUII VII tahun ini yang berasal berbagai komponen umat Islam di Indonesia, pimpinan Majelis Ulama Indonesia se-Indonesia, pimpinan Ormas-Ormas Islam, Pimpinan organisasi kemahasiswaan kepemudaan (OKP) Islam, dan para tokoh Islam lainnya sepakat minta Presiden membubarkan BPIP,” ujarnya.
Ia mengatakan KUII ke-VII dimulai 26 – 29 Februari 2020 dan dibuka Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin juga mendorong pemerintah untuk melakukan sosialisasi keterkaitan Pancasila dengan agama dan membantu penguatan nilai-nilai agama di dalam Pancasila. ”Kami mendorong pemerintah membantu penguatan nilai-nilai agama di dalam Pancasila untuk menghilangkan fitnah, bahwa peraturan perundang-undangan yang bermuatan agama yang tidak pancasilais,” katanya.
Selain itu, KUII ini mendesak pemerintah untuk melakukan penegak hukum yang adil yang tanpa tebang pilih terhadap kasus-kasus mega korupsi dan penyebaran kebencian. Selanjutnya, pemerintah juga membuat sistem rekrutmen aparatur negara yang nondiskriminatif dan berbasis digital yang dapat diakses oleh seluruh warga negara sehingga tercipta proses transparansi yang melibatkan pengawasan masyarakat. ”Kami mendesak pemdesak pemerintah melakukan pencegahan dan perlindungan warga negara dari virus yang membahayakan seperti corona,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi untuk berpuasa bicara selama satu tahun tidaklah bijak, mengingat dia merupakan pejabat publik yang memiliki tanggung jawab menyampaikan hasil kinerja. ”Menurut saya itu sangat tidak bijak, sebagai pejabat publik dia harus bertanggungjawab kepada tugas-tugasnya,” ujar Emrus.
Selaku kepala BPIP, Yudian sebelumnya sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menyebut bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, bukannya kesukuan. Pernyataan itu mengundang reaksi beberapa pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia yang mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencopot dia dari jabatan kepala BPIP. Atas hal itulah Yudian memutuskan untuk berpuasa bicara di depan publik.
Menurut Emrus, jika tujuan Yudian berpuasa bicara selama satu tahun sebagai bentuk instrospeksi diri atas perkataan kontroversial yang pernah dia ucapkan, maka hal tersebut terlalu berlebihan.
Sebagai seorang pimpinan lembaga yang salah satu tugasnya membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, Yudian harus lebih sering berbicara di depan publik tentang wawasan ideologi Pancasila yang tidak kontradiktif dengan ajaran agama manapun. Dia dinilai memiliki tanggung jawab untuk terus menyuarakan hal tersebut.
”Saya berani mengatakan, satu detik pun tidak boleh berhenti mewacanakan tentang Pancasila kita. Kalau memang itu momentum yang pas, tidak boleh tutup mulut atau diam, tidak boleh. Sebagai pejabat publik dia harus menyampaikan tanggung jawabnya itu,” ujar pria yang juga menjabat direktur eksekutif Lembaga Emrus Corner itu.
Lebih lanjut Emrus mendorong agar Yudian tidak trauma menyampaikan wacana tentang ide dan gagasannya mengenai wawasan ideologi Pancasila di depan publik. Dia juga menyarankan agar Yudian lebih banyak belajar tentang tata cara berkomunikasi di ruang publik agar tidak terjadi keseleo lidah dalam menyampaikan gagasan di kemudian hari. ”Sebagai kepala BPIP dia perlu mempunyai kemampuan, kedewasaan komunikasi di ruang publik,” ujar Emrus.
Sebelumnya Kepala BPIP Yudian Wahyudi, memutuskan untuk puasa bicara selama setahun guna menghindari kesalahan saat berbicara di depan publik. ”Kira-kira setahunlah (puasa bicara), saya belajar dulu. Semua yang permulaan khan sulit ya. Harus belajar dulu, mengamati-amati dulu,” kata dia, saat menolak permintaan wawancara sejumlah awak media di Kompleks Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta, Sabtu (29/2).
”Nanti rencananya kalau ada gini (wawancara) harus pakai draft agar saya tidak kepleset-lah. Ini demi kebaikan republik,” kata dia. Selaku kepala BPIP, ia juga mengaku telah mendapat imbauan dari DPR agar menggunakan naskah tertulis yang disiapkan humas sebagai panduan saat menyampaikan pernyataan di depan publik.
”Itu yang namanya kalau dalam Islam amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf itu DPR memerintahkan kepada saya melakukan yang baik-baik. Kalau di depan publik pakai draft gitu, pakai humas kaya gitu jadi subjektivitas saya tidak terlalu menonjol. Yang dibilang munkar ya tadi. Kalau kepleset ngomong kan munkar, dalam arti luas. Jadi saya terima ini sebagai nasihat,” kata dia. (fin)