Oleh: Hasanudin Hamami (Ketua Umum Jaros 24)
Indonesia dikategorisasi sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sistem pemerintahan demokratis dipilih karena dianggap sebagai sistem terbaik di dunia yang akan dapat membuat hidup rakyat sejahtera lahir maupun bathin. Dalam sejarahnya di Indoensia, penerapan sistem demokrasi mengalami ragam diksi dan narasi seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila.
Kini paska tumbangnya kekuatan rezim Soeharto melalui reformasi politik 1998 dinamika implementasi sistem demokrasi dianggap lebih baik. Memberi ruang berekpresi yang bebas tanpa harus mendapat tekanan aparat saat menyampaikan kritik. Jauh berbeda dibanding dengan masa era Soeharto.
Dalam sistem demokrasi diberi ruang kepada para oposan untuk melakukan Checks and balances atas kinerja pemerintah dengan harapan tata kelola pemerintah dan negara dapat berjalan lebih baik demi terciptanya kehidupan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera.
Namun sayangnya kini tidak terlihat kapasitas, kapabilitas dan kredibiltas dari kalangan oposisi untuk menjalankan fungsi mulyanya seperti tersebut di atas. Nampak orientasi dan performance (kinerja) oposisi tidak menunjukkan peran yang signifikan. Lemah dan mengecewakan. Suara oposisi tak memiliki tone (tekanan suara) yang kuat, lemah resonansinya dan tak mengandung ruh sehingga suara dan gagasan kalangan oposisi teralienasi-marjinal. Jauh dari preferensi (selera) dan harapan publik Indonesia yang waras.
Tendensi Oposisi Non Partai
Sering dilontarkan diksi-narasi-ide yang disuarakan oleh kalangan oposisi dari kelompok aktivis, tokoh kampus dan masyarakat yang memposisikan diri bersebrangan dengan pemerintah. Namun gagasan itu nampak kurang meyakinkan karena pertama, lebih kental muatan tendensi pribadi dan kelompoknya. Tidak mewakili preferensi dan suara mayoritas masyarakat. Seperti fenomena terbaru yakni lahirnya sebuah kelompok masyarakat yang menamakan diri dengan Gerakan Nasional Anti Islamofobia yang dideklarasikan Ferry Juliantono, Hidayat Nur Wahid, Ahmad Yani, Mustofa Nahrawardaya, Slamet Maarif, Anwar Abbas dan lain-lain.
Publik maklum meski mereka mengklaim sebagai kelompok masyarakat umum namun sebagian figur-figur deklarator itu telah dikenal sebagai politisi partai tertentu yang pasti tendensius dan partisan. Demikian juga kala didengungkan kembali narasi lama oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) yakni revolusi akhlak yang dalam implementasinya malah cendrung menjadi instrument yang mendorong segregasi (pemisahan) di tengah masyarakat yang potensial memicu konflik. Hal yang sama juga yang dilakukan oleh aliansi gerakan KAMI dulu yang dimotori oleh Dien Syamsudin, Gatot Nurmantyo yang akhirnya mati suri karena tak memiliki public trust yang memadai.
Kedua, gagasan yang diproduksi kalangan oposisi non partai terkesan terlalu elitis tidak menyentuh pada kepentingan masyarakat banyak. Misalnya, mereka menggugat pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang mayoritas masyarakat tidak mempermasalahkan hal itu. Juga aksi menakut-nakuti masyarakat dengan isu krisis negeri Sri Lanka akibat terlilit hutang yang bisa menimpa Indonesia karena sama-sama memiliki hutang yang banyak. Padahal masyarakat tidak terlalu peduli akan hal itu karena tak merasakan dampaknya. Hal ini juga mengesankan bahwa kalangan oposisi bertindak serampangan dan asal protes sekedar untuk menunjukkan eksistensi diri agar bisa mendapat perhatian publik saja. Tidak tulus memperjuangkan gagasan besar demi peningkatan keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara.
Realitas Oposisi Partai
Realitas narasi-gagasan oposisi dari kalangan partai lebih tak nyambung lagi dengan preferensi masyarakat. Ketika PKS menyuarakan penurunan presidential threshold dari 20% ke 7%-9%, hal itu menimbulkan tuduhan dan kecurigaan dari kalangan partai lain bahwa PKS lebih mengutamakan kepentingan partainya di tengah partai-partai lain yang menginginkan presidential threshold turun menjadi 0% bukan 7%-9%.
Kecuali itu, narasi-gagasan yang diusung partai oposisi PKS dan Demokrat tidak ada yang menonjol. Mereka seakan kehabisan gagasan dan tak memiliki ide yang cukup kuat untuk berhadapan dengan gagasan besar dan program-program pemerintahan Joko Widodo.
Gagasan-Program Menjadi Perisai Pemerintahan Joko Widodo
Ada banyak gagasan dan program pembangunan besar pemerintahan Joko Widodo yang menjadi perisai sehingga kalangan oposisi mengalami kesulitan mencari cara untuk menjatuhkan pemerintahan Joko Widodo. Terlalu banyak program pemerintahann Joko Widodo yang menjadi benteng yang sulit ditembus oleh aksi politik kalangan oposisi.
Program Pembangunan Raksasa
Trans Papua
Kiprah Jokowi sudah menjadi legenda di hati mayoritas rakyat Papua. Jokowi dikenang sebagai Presiden Republik Indonesia yang rela bermandi peluh untuk blusukan ke segenap wilayah Papua yang berat, sulit dan berbahaya. Jokowi seakan ingin memeluk segenap hati dan jiwa rakyat Papua. Sungguh sebuah lakon yang didamba rakyat Papua yang selama ini tidak diperolehnya dari Presiden Republik Indonesia selain Jokowi. Jokowi memahami rakyat Papua bak anak yang terlalu lama ditelantarkan. Jokowi berusaha memberikan hati dan jiwanya untuk rakyat Papua. Dia bangunkan jalan sepanjang 3400an km. Sebuah Jalan terpanjang di negeri nusantra. Dia bangunkan jembatan, pasar, bandar udara, sarana olah raga dan lain-lain. Rakyat tanah Papua diangkat derajatnya kemudian diletakkan di posisi tinggi di ingatan publik pada momentum penyelenggaraan PON ke-20 yang diselenggarakan di tanah Papu. Sebuah even yang didesain secara atraktif, menarik dan membanggakan. Lalu kaum oposisi mau ngomong apa? Bisu.
Trans Sumatra
Jokowi memberi sinar bahagia kepada rakyat Sumatra. Setelah sekian lama menanti kemudahan transportasi. Akhirnya rakyat Sumatra memiliki jalan trans Sumatera sepanjang 2.987 Km, yang dapat memudahkan perjalanan, perdagangan dan pembangunan di wilayah barat Nusantara. Sebuah progam yang telah puluhan tahun dinantikan. Lalu kalangan oposisi berujar kami tak butuh jalan, kami butuh makan. Sungguh sebuah ekspresi kekacauan logika dan moral. Mengalami problem kejiwaan dan ambruknya moral karena tak tahu berterima kasih.
Pembangunan Waduk
Program pembangunan puluhan waduk oleh pemerintahan Jokowi bak tercurahnya hujan dari langit. Aliran air waduk telah lama dinanti para petani yang sangat membutuhkan kestabilan pengairan untuk kesuburan pertanian. Sebuah jantung kebutuhan para petani yang terabaikan sekian lama. Tak tergarap oleh para pemimpin sebelumnya.
Pemindahan Ibu Kota Negara
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) adalah sebuah cita-cita dan mimpi besar para presiden sejak presiden Soekarno, dan baru bisa diputukan oleh Prsedien Joko Widodo. Dengan tujuan meratakan pembangunan di seluruh nusantara, IKN dipindahkan ke wilayah yang dianggap berada di posisi tengah Indonesia yakni di Kalimatan Timur. Jokowi bersungguh-sungguh merealisasikan tujuan itu lewat berbagai langkah perjuangan termasuk lewat perjuangan politik dengan merangkul kekuatan partai agar menerbitkan undang-undang sebagai legitimasi pemindahan IKN
Program Sosok Negarawan
Niat dan resonansi jiwa Jokowi tertangkap oleh bathin rakyat sebagai negarawan yang ikhlas dan altruis yang berjuang demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan negara Indonesia. Hal itu terbukti dengan keputusan Jokowi yang tetap membangun wilayah yang meski secara politis tidak memilih dan mendukungnya untuk menjadi presiden saat pemilu pilpres lalu. Tapi hati Jokowi seluas samudra. Mampu menunjukkan jiwa kelas seorang negarawan. Tetap mencintai dan mengasihi seluruh rakyat dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat tanpa kecuali.
Meski Jokowi tak dianggap dan tak didukung mayoritas warga NTB pada dua kali gelaran pilpres namun dia tetap membangun dan menghadiahi rakyat NTB dengan menggulirkan program pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika agar rakyat NTB terimbas kemakmuran lewat program itu. Sekaligus juga menghadiahi sebuah sport area ikonik kelas dunia yang membanggakan yakni; arena sirkuit motogp yang prestisius sehingga dengan pembangunan itu rakyat NTB dapat mengais rezeki terlebih saat diadakan even balapan motogp dan yang sejenisnya. Kini wilayah pulau NTB telah dipermak menjadi mempesona yang dikenal di seluruh negeri bahkan telah menjadi sorotan warga dunia.
Demikian juga terkait dengan pembangunan tol di Sumatra Barat (Sumbar). Provinsi ini adalah salah satu wilayah yang paling keras menentang Joko Widodo sebagai presiden bahkan sampai saat ini, namun dengan sikap seorang negarawan, Jokowi membuka jalan tol melintasi Sumbar agar kehidupan perekononiam rakyat Sumbar dapat setara dengan nasib kehidupan ekonomi rakyat provinsi lain di sekiarnya.
Kecermatan Pemikiran dan Kecerdasan Intuisi Jokowi
Semua program itu merupakan buah dari sebuah kecerdasan, kecermatan, keberanian dan kenegarawanan Joko Widodo sehingga menjadi magnet yang memikat preferensi jiwa rakyat. Kecerdasan intelektual Jokowi mampu menganalisa dan mengidentifikasi keinginan-kebutuhan rakyat akan pembangunan. Kecuali itu, kecerdasan intuisi Jokowi mampu menerawang-menangkap kerinduan dan kebutuhan yang bersemayam dalam jiwa terdalam rakyat. Kemudian Jokowi memanfaatkan intuisinya untuk menelaah momentum dan arah angin politik yang tepat. Mendesain dan menyusun strategi untuk kesuksesan realisasi pembangunan yang bermanfaat besar bagi kehidupan rakyat. Sehingga program Jokowi mampu connecting (nyambung) dengan mimpi, harapan dan kebutuhan rakyat.
Maka ketika harapan rakyat terpenuhi, terlihat betapa antusiasmenya rakyat yang lugu dan tulus menyambut kedatangan Jokowi. Meneriakkan dukungan atas kepemimpinan Jokowi dengan penuh semangat saat Jokowi berkunjung ke daerah-daerah. Ibu-ibu dan anak-anak kecil yang tulus tanpa manipulasi menangis haru dan tertawa riang berebut berjabat tangan dengan Jokowi. Maka tak heran jika di berbagai hasil survey menunjukkan kepuasan rakyat atas pemerintahan Jokowi selalu menduduki prosentasi yang cukup tinggi sekitar 70%.
Prediksi Rivalitas Kampanye Capres 2024
Kini menjelang pilpres 2024 di tengah sulitnya menemukan narasi-gagasan alternatif dari para oposan, ini bisa jadi indikasi bahwa pertarungan kampanye di pilpres 2024 akan minim perdebatan gagasan brilian. Para oposan yang menjadi rival capres kubu Jokowi sulit akan menciptakan gagasan besar dan rasional yang bisa memikat hati publik saat kampanye nanti. Akhirnya para oposan itu hanya akan menggunakan kembali sentimen agama. Maka hanya dengan sentiment agama mereka berusaha mencuri perhatian sebagian rakyat. Itupun tentu kalangan rakyat yang memiliki kadar intelektual rendah yang malas berpikir untuk membedakan mana konten kampanye manipulatif-bersenitimen agama dan mana yang bukan.
Maka kenaifan sebagian kalangan umat yang hanya bermodal antusiasme agama akan kembali menjadi gerombolan kerbau yang dicucuk hidung yang akan dikapitalisas-dimanfaatkan oleh kalangan oposisi yang tidak cerdas-tidak bermoral untuk menjadikannya sebagai suara pendukung. Ini aksi politik oposisi yang naif yang berulang-ulang terjadi pada setiap even kampanye. Dan naasnya selalu mendapatkan dukungan dari kalangan umat islam yang kadar intelektualnya lemah. Hal itu sudah terlihat indikasinya dari komunikasi-narasi verbal dan non verbal yang telah digaungkan oleh kalangan oposisi mulai dari deklarasi gerakan nasional Anti Islamofobia. Narasi bombasitis yang menyebutkan negara dalam dalam kondisi darurat kebohongan. Serta digaungkannya kembali tema revolusi akhlak oleh kalangan yang tidak otentik sebagai pemegang teguh dan pelaksana nilai-nilai akhlak mulya. Wallahu alam bishowwab.