Beritaindonesia.id– Sekelompok pria bersenjata membantai 22 penduduk desa di wilayah minoritas Kamerun Jumat lalu (14/2). Sebagian besar yakni 14 korban merupakan anak-anak dan balita. Hal tersebut terus meningkatkan tensi politik Kamerun pasca pelaksanaan pemilu 9 Februari lalu.
Peristiwa itu dilaporkan oleh Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). Lembaga kemanusiaan PBB tersebut menyatakan bahwa pembunuhan itu terjadi di desa anglophone alias komunitas berbahasa Inggris. ”Setidaknya 22 warga sipil dibunuh, termasuk perempuan hamil,” ungkap James Nunan, petugas lokal OCHA, kepada Agence France-Presse.
Pembantaian tersebut cukup tragis. Sebelas dari total 14 korban anak-anak merupakan perempuan. Sembilan korban masih berusia di bawah lima tahun. Menurut salah satu saksi, korban tersebut dikubur di empat lokasi yang berbeda.
Saksi yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku ikut membantu kelompok bersenjata itu mengubur jenazah korban. Setelah itu, kelompok tersebut membakar sembilan rumah di desa itu.
Sampai saat ini, belum ada kelompok yang mengklaim aksi tersebut. Namun, kelompok oposisi langsung menuding pemerintah sebagai otak di balik pembantaian. ”Itu adalah perbuatan dari pasukan militer pemerintah,” ujar Direktur Centre for Human Rights and Democracy in Africa Felix Agbor Mballa, pengacara dan pegiat separatis Kamerun, dalam akun Facebook-nya.
The Movement for the Rebirth of Cameroon, salah satu di antara dua partai oposisi Kamerun, ikut menuding rezim Paul Biya sebagai aktor utama pembantaian tersebut. Mereka menyimpulkan hal itu karena penduduk desa tersebut merupakan anglophone. Pemerintah Kamerun belum memberikan komentar, sedangkan pejabat militer hanya mengatakan bahwa tuduhan itu salah.
”Siapa pun yang bertanggung jawab atas kejahatan mengerikan itu harus diadili,” ujar Mballa seperti dikutip Al Jazeera.
Komunitas yang berbicara dengan bahasa Inggris merupakan kelompok minoritas di Kamerun. Kebanyakan menggunakan bahasa Prancis dalam kehidupan sehari-hari alias francophone. Kelompok minoritas tersebut sering mengeluhkan diskriminasi yang diderita. Puncaknya, mereka mengumumkan kemerdekaan sebagai Ambazonia alias Amba Land pada 2017.
Hal tersebut berbuntut konflik antara pemerintah dan kelompok separatis hingga saat ini. Konflik itu ikut menggeret penduduk sipil. Selama tiga tahun, setidaknya 3 ribu penduduk tewas dan 700 ribu lainnya melarikan diri dari rumah masing-masing.
Kamerun bukanlah satu-satunya negara Afrika yang bergejolak. Minggu (16/2) kelompok bersenjata membunuh 24 warga sipil, termasuk pastor gereja, dan melukai 18 lainnya di Kota Pansi, Provinsi Yagha, Burkina Faso. Kelompok tersebut juga menculik tiga warga sipil. ”Hati saya perih melihat para korban,” ujar Sihanri Osangola Brigadie, kepala komuni Boundore, kepada Associated Press.
Pemimpin agama memang menjadi target kelompok bersenjata akhir-akhir ini. Pekan lalu seorang pastor yang sudah pensiun dibunuh di provinsi yang sama. ”Pelaku menggunakan koneksi dengan pemerintah atau agama yang dianut sebagai alasan pembunuhan mereka,” ujar Corinne Dufka, direktur Human Rights Watch Afrika Barat Watch.
PENGUNGSI KAMERUN
Jumlah pengungsi : 407.821
Jumlah pencari suaka : 10.158
Jumlah orang terlantar : 976.773
PERINCIAN PENGUNGSI
Negara Tujuan | Populasi Pengungsi
Republik Afrika Tengah | | 93.277
Nigeria | 111.670
Cad | 1.605
Republik Demokratik Kongo | 522
Rwanda | 334
Negara lain | 118
Sudan | 101
Pantai Gading | 71
Burundi | 69
Kongo | 54
Sumber: UNHCR (JPC)